“To keep your balance, you must keep moving”

Hi, this was my farewell email on September 9, 2016. I believe this is worth to be kept as memory treasure. *grin*

 


 

Dear Friend,

As many of you probably know, today is my last day. But before I leave, I wanted to take this opportunity to let you know what a great and distinct pleasure it has been to type “Today is my last day”. I knew all along that this day would come, still, writing out this mail makes a butterfly in my stomach. The company and especially the team had become kind of a second family to me and the thought of leaving it makes me emotional.

Right since the day I put in my resignation, I tried to take out some time every day to reflect on how my time here at Indika Energy has affected me, my life, my personality. I’ve come to the conclusion that my time here has enriched me as a person and a professional and I consider myself lucky to have taken up the first “nine to five” job of my life at Indika Energy and more so to have been assigned to the team.

Sweet memories have always been mostly during the following phases, and you are a part of the mail because I have had at least one of the below memories with you guys.

1. Lunch time and laughter sessions!

2. All day long meetings

3. Choreographing and dancing in flash mobs

4. Uncountable wefie sessions

5. Toilet secret chats

6. Any random, yet silly moment

But (cliché alert) there comes a time when one has to realign priorities and move ahead. It has been a tough deal, but a conscious one. I am quite excited to step in a challenging phase in my life, however need not to say, what I am leaving behind is also precious.

I wish you all the very best for life. I’ll really miss each one of you hence I am gonna be around. 🙂

Signing Off,

Ginar Santika Niwanputri

[email protected]

“To keep your balance, you must keep moving”

 

Dua Linang

Sad_Love_Quotes_believe-cry-quotes-sad

Siang ini air mata saya jatuh untuk hal sepele yang tidak berdasar. Lalu malam ini saya tak kuasa menahan tetes air mata saat mendengar kisah pegiat daerah dalam memperjuangkan literasi untuk semua kalangan usia.

Sungguh dua linang yang berbeda. Saya rindu linang hadir dengan cara yang memperkaya rasa. Saatnya perlahan belajar meninggalkan linang yang tak perlu pun tak tentu.

Mari simpan air mata dalam ruang berharga yang tak kasat mata.
Karena ia hanya pantas keluar untuk sesuatu yang menyehatkan jiwa.

 

Jakarta, 11 Mei 2016

Inay

 

 

Antara Kasur dan Kubur

 

Hampir tiap pagi dua roda berputar teratur membawa saya menjemput segenggam berlian keberkahan. Pagi ini abang ojek saya arahkan melewati Casablanca. Saya terbiasa memberi gambaran kasar jalan yang akan dilalui, kemudian saya biarkan sang pengemudi menerjemahkannya ke dalam belokan kiri dan kanan sesuai seleranya.

 

Saya memberi ruang yang sama untuk saya dan dia dalam menentukan jalan yang akan kami lalui. Mungkin sebagian orang tidak pernah memikirkan hal ini, memilih jalan saja harus sama porsinya. Ada ketenangan yang saya dapatkan dengan cara ini, ketika kedua pihak memiliki andil yang setara untuk mencapai satu tujuan yang sama. Ya, Anda boleh heran atau geleng-geleng kepala, tolong diterima dengan lapang dada ya kelakukan ajaib saya ini.

 

Dalam jalur Casablanca, banyak pilihan jalan yang dapat kami lalui. Kali ini jalan pintas yang dipilih, sebuah jalan yang membuat hati saya selalu berkecambuk ketika melaluinya. Ada ragu dan gelisah dalam setiap putaran rodanya. Saya menghela napas panjang, jalan ini sebenarnya tak pantas untuk dilewati kendaraan bermotor, namun setiap pagi dan malam ternyata tak pernah ada hentinya. Tempat Pemakaman Umum.

 

Pikiran saya berlompatan dari satu batu nisan ke batu yang lain. Suatu hari nanti ada nama Ginar Santika Niwanputri tertulis di sebuah batu atau mungkin kayu. Tubuh ini akan terbaring tak berdaya di bawahnya, mengubah jati dirinya menjadi sebuah jasad. Dan kemanakah perginya jiwa yang melekat sebelumnya? Menunggu penghitungan nilai atas apa yang telah dilakukan oleh setiap sel di dalam tubuhnya.

 

Saat batu nisan itu dipasang, sebagai apakah saya akan dikenang?

 

Ah sesungguhnya itu hanyalah sebuah hijrah yang sederhana. Kita lahir di atas kasur, kemudian kita mati di tanah kubur. Perpindahan tempat istirahat dari sementara menuju tak lekang masa. Perubahan dari dunia fana ke alam baka.

 

Bagaimana sebenarnya tugas di dunia tak perlu berlama-lama. Hanya sekejap saja seperti waktu yang tersisa antara kumandang adzan (di telinga) dan didirikannya shalat (untuk jasad kita).

 

Antara Adzan dan Shalat

 

Sungguh sebenarnya hidup itu sangat sederhana, cukup memberi makna dalam setiap jeda.

Sebuah refleksi dalam usia yang digenapkan
Sebentuk curahan syukur untuk jantung yang didetakkan
Secarik catatan atas semua pelajaran hidup yang dianugerahkan

 

Jakarta, (19+1) November 2015
~Inay

Macan TBB

image

Suatu pagi di sela-sela pepohonan.

Ditemani suara gemericik pertemuan ban motor dan genangan.

Bersama semerbak harum karet dan udara pagi yang bergantian.

Loncatan pikiran beserta ketakutan akan masa depan mengiringi setiap perjalanan.

Bertahun-tahun ke depan akankah tetap bertahan perjuangan demi perjuangan?

Hampir genap lima tahun, tongkat kehormatan telah di-estafet-kan.

Setelah ribuan derai tangis dan jutaan gelak tawa, hari ini pun hadir sebagai sebuah jawaban dari kegelisahan.

Bentuk nyata dari bayangan semu cita-cita mulia bersama perlahan bermunculan.

Untuk semua keluarga besar Macan TBB.

Kita memang tak punya laut ataupun gunung, tapi bersyukurlah bahwa kita menemukan keluarga baru yang jauh lebih indah daripada pemandangan.

Semoga auman kita semakin bermanfaat bagi dunia dan tak hanya menjadi kenangan. 💘💘💘

#5TahunMacanTBB
#baper
#nangisdipojokan

Rasa Tanpa Definisi

Jatuh cinta itu biasa saja.
Iya, kata Efek Rumah Kaca.

Mungkin cukuplah kau sebut itu sebuah rasa yang belum terdefinisi. Tak usahlah terburu-buru menyatakan bahwa itu cinta.
Perlahan rasa akan menemukan definisinya sendiri. Dia akan menguat jika memang ia cikal bakal dari cinta. Jika tidak, ah sudahlah, mungkin itu tak lebih dari hasrat sesaat.

Hatiku masih perlu belajar untuk mengenali rasa yang singgah, sekejap atau pun lama. Langkah demi langkah menentukan ia akan kemana dan menjadi apa. Biarlah ia menjelma sebagai apa yang seharusnya, tanpa perlu ada paksa atau dusta.

Rasa yang abadi akan menemukan jalannya sendiri. Termasuk juga rasa yang sudah pergi, apakah dia akan menemukan jalan untuk kembali? Kita takkan pernah tahu apa yang akan terjadi.

Satu yang pasti kita perlu menikmati setiap momen yang terjadi, dalam senyuman dan kebahagiaan yang hakiki.

Sajak Dua Tepian

image

Aku berdiri di antara batas dua tepian.
Masa lalu dan masa depan.

Aku termenung di antara batas dua tepian.
Harapan dan kenyataan.

Aku menghela di antara batas dua tepian.
Impian dan kenangan.

Aku menerawang di antara batas dua tepian.
Ketenangan dan kegundahan.

Aku terusik di antara batas dua tepian.
Pertanyaan dan jawaban.

Aku terpaku di antara batas dua tepian.
Keikhlasan dan kedengkian.

Aku mematung di antara batas dua tepian.
Keraguan dan keniscayaan.

Aku tersenyum di antara batas dua tepian.
Doa dan ampunan.

Sang Pemilik Hati

Mata saya terpejam, tapi kepala saya berputar. Tubuh saya terdiam, tapi hati saya bergetar.
Malam ini seharusnya tak ada beda, namun kecambuk di otak tak bisa kompromi, menggugah kesadaran jiwa yang tak berseri.

Hati saya sudah disiapkan untuk menyambut hari biasa tapi berasa ini. Tentunya oleh Sang Pemilik, hati ini dilatih bergoncang dan berbalik ke segala arah.

Dan inilah saat latihan itu usai, ujian baru saja dimulai. Degup tak menentu mengiringi hati yang tanpa beban menggelinding jauh. Ah lihatlah bagaimana Sang Pemilik hati berhasil membuatnya kuat berlapis baja, sarat berbalut emas, bahkan padat bertahtakan mutiara.

Hati, engkau kini berhasil perlahan menggelinding tanpa cidera. Lihatlah bagaimana dirimu mampu menahan curahan di pelupuk kedua mata.

Oh, tetaplah berlatih tanpa berhenti wahai sang hati. Aku yakin Sang Pemilik takkan bosan menjaga teguhnya sampai waktu yang tak bertepi.

Mimpi: Hak atau Kewajiban

Kemarin malam, di depan TV yang menyala, saya berbincang bersama seorang sahabat. Saya tertarik membahas sebuah temuan di kantor anak perusahaan yang saya kunjungi hari itu. Bekerja di holding company memaksa saya memiliki banyak kantor yang harus didatangi.

Siang itu tanpa sengaja saya menjatuhkan pajangan dari meja seorang rekan kerja. Untungnya pajangan itu masih tetap utuh. Sebuah replika Menara Eiffel setinggi kira-kira 15 cm. Saya kembalikan Eiffel pada posisinya semula. Tatapan mata saya jatuh pada secarik kertas bertuliskan IMPIAN, tertempel di dekat Eiffel. “Impian gw tuh!”, ujar sang pemilik kubikel. Saya hanya bisa berkata Wow untuk kemudian tersenyum. Saya mendengar nada yang sungguh berbeda saat dia menyebutkan kata impian. Jauh lebih berapi-api daripada saat kami membahas report yang menjadi agenda kedatangan saya kali itu.

Di waktu yang lain, tangan saya berhenti sesaat dari mengusap naik turun ponsel pintar dalam genggaman. Sebuah foto apik menarik perhatian saya, Big Ben terpasang sebagai desktop background laptop seorang teman yang linimasanya saya ikuti. Disertai kalimat motivasi yang membangkitkan nyali, foto sederhana itu sungguh menggugah hati.

Di linimasa jejaring sosial yang lain, lagi-lagi jari-jemari saya terhenti. Sebuah celotehan rencana masa depan disertai iringan doa dan harapan yang terangkai dengan rapi. Tertulis di sana tanpa perlu ada sebuah beban atau sebercik ketakutan.

Marilah kita sebut ketiganya terkait erat dengan mimpi. Saya bertanya pada diri sendiri, apakah mimpi itu sebuah hak atau sebuah kewajiban. Saya ternyata tak pernah ingin memilih salah satu di antara dua. Tidak ada yang pernah melarang seseorang untuk bermimpi.

Saya sampai di satu titik, titik persinggahan yang membuka mata. Manusia yang bernyawa masih akan terus bermimpi sampai ia menutup usia. Setiap orang berhak bermimpi dan setiap yang lain wajib menghargainya.

Ya Tuhan, izinkan saya bermimpi.

image

Sebuah Catatan Harian

Satu butir paracetamol menuntun saya menulis ini. Rasanya hari ini terlalu padat untuk dituliskan dalam 140 karakter.

Bukankah segala sesuatu selalu sulit untuk dimulai, untuk kemudian lebih sulit lagi diakhiri.

image

Foto Indonesia yang terbentuk dari awan tanpa sengaja ditemukan oleh relawan fotografer yang berkunjung ke TBB. Saya menjadi saksi hidup yang bisa membuktikan bahwa foto itu bukan hasil rekayasa. Saya beruntung bisa menyaksikannya secara langsung.

Desiran yang sama selalu terasa ketika mendengar kisah pengajar muda. Saya tidak tahu sampai kapan desiran itu akan tetap ada. Ditemani degup jantung yang lebih cepat dari biasa.

Siapa yang mengira saya akan menyaksikan peta Indonesia yang sama di sebuah ruang mewah gedung bertingkat Ibukota Jakarta.
Ya, di tempat saya bekerja hampir 2 tahun terakhir ini.

Jika seseorang bertanya sebelumnya bekerja dimana. Izinkan saya menjawab
“Saya di TBB, bukan bekerja, tapi hidup. Dan saya akan kembali pulang, bukan pergi.”

Saya dan seorang teman seringkali melontarkan pertanyaan yang sama berulang-ulang
“Sampai kapan ya kita akan hidup dalam romantisme TBB?”
Kemudian kami hanya memberikan tawa sebagai jawabannya. Karena kami tahu pertanyaan itu tak pernah membutuhkan jawaban. Karena romantisme itu hidup di darah kami, di hembusan nafas kami, dan di detak jantung kami.

Mungkin inilah bagian masa lalu yang tak sedikitpun ingin terlupa, pahit manisnya, tak pernah ada rasa yang sama.

Untuk masa depan yang tak terduga, untuk sebuah cerita yang tertunda, untuk sebuah kejujuran yang terasa.

Terima kasih ya atas hari ini.
Untuk kamu, dia, dan mereka.

Ditulis di kursi ruang TV, ditemani keheningan, dan sedikit hingar bingar tak diundang.

~Inay

Sebuah Rindu Dariku

Aku rindu
Rindu pada-Mu yang tak sempat bertemu
Pada-Mu yang selalu setia menungguku
Kau ada di situ
Tanpa peduli aku tahu ataupun terpaku

Rindu yang seharusnya tak perlu
Aku rindu karena aku terlanjur melupakan-Mu
Terlena dan tak peduli akan hadir-Mu
Betapa hinanya diriku
Bersimpuh tak berdaya di hadapan-Mu

Rinduku memuncak tak terbendung
Aku malu
Tetesan sesal dari mataku
Sanggupkah melunturkan semua khilafku

Janganlah lagi ada rinduku
Karena ku ingin selalu
Menjaga hatiku untuk-Mu

Dalam setiap tarikan nafasku

Bukankah rindu hadir jika aku dan Kamu tak bertemu?

Maka habiskan sudah rinduku

Demi aku dan Kamu yang menjadi satu