Takut dan Lupa : Sebuah Kausal

Saya menulis ini di dalam sebuah taksi burung biru. Perjalanan dari satu gedung ke gedung lain yang semakin biasa saya jalani dari hari ke hari. Bapak driver bilang belum ada informasi kenaikan tarif, sejauh ini biaya BBM masih disubsidi oleh perusahaan. Kalau tidak disubsidi, mungkin uang hanya habis untuk beli bensin, pulang ke rumah dengan tangan kosong. Manusia memang tak lepas dari rasa takut. Takut jika BBM naik kemudian penghasilan yang didapat tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun manusia juga tak lepas dari sifat lupa. Iya, manusia lupa bahwa rezeki ditentukan oleh Allah, bukan oleh pemerintah yang menaikkan harga BBM.

Visa ke Surga
Visa ke Surga

Di pinggir jalan saya tertarik melihat baligo besar bergambar tangan memegang sebuah benda bertuliskan VISA. Judulnya Visa ke Surga. Menarik melihat bagaimana sebuah izin mendatangi surga masih perlu dibuatkan iklannya, sedangkan izin kunjungan ke negara lain begitu laris manis tanpa perlu polesan advertorial yang berarti. Jikalau benar ada visa ke surga, sesungguhnya proses pengajuan visa dilakukan sepanjang usia kita di dunia. Pada akhirnya proses pengajuan, tentunya hanya Allah, yang berhak memberikan approval visa tersebut. Saya tersenyum sendiri membayangkan analogi yang terbangun di tengah kemacetan Ibukota ini.

Ya ini lagi-lagi tentang 2 hal yang sangat lekat dengan manusia, takut dan lupa. Lupa dan takut ini sebenarnya 2 hal yang saling terkait dengan hubungan kausal sebab akibat. Manusia takut karena ia lupa, vice versa. Manusia sering lupa apa tujuannya ia diciptakan. Lupa bagaimana ia kemudian dihidupkan. Dan lupa detak jantungnya suatu waktu akan dihentikan.

Ah, sesungguhnya tulisan ini niscaya menjadi sebuah refleksi tahunan di hari ke 19 bulan ke 11. Usia yang tak lagi muda mulai saya jejaki, 27 tahun. Jadi apakah kematangan usia bisa menentukan kekuatan manusia dalam melawan takut dan lupa?

Rapel

Ternyata saya sudah lama sekali tidak menulis, yang artinya sudah lama juga saya tidak punya waktu untuk berdialog dengan diri saya sendiri. Ternyata tanpa disadari, inilah salah satu cara mengenal diri kita lebih dalam, ya betul, menulis. Tahun yang baru bukan berarti segalanya baru, buktinya saya masih begini saja, masih tetap pemalas dan penunda banyak hal. Saya sibuk dengan segala urusan yang menyenangkan dan seringkali melupakan urusan yang mungkin kurang menyenangkan tapi seharusnya menjadi prioritas utama. Baru itu bisa berarti berganti atau berubah dari yang lama. Entah mengapa berubah itu sulit. Saya tetap saja cengeng dan tidak dewasa di usia saya yang ke 21. Ya, bisa dibilang ini sebuah rapel, gabungan renungan ulang tahun dan tahun baru, ah, lihatlah betapa pemalasnya saya.

Adik saya sekarang sudah kelas 1 SMP, sudah beranjak menjadi ABG, saya sering tersenyum memperhatikan kelakuannya karena saya tahu, saya pernah seperti itu. Adik saya beranjak besar begitu pula saya, namun saya beranjak tua dan berharap beranjak dewasa. Sekarang adalah tahun ke-4 saya kuliah, seharusnya inilah tahun terakhir saya kuliah, entah itu sampai Juli atau Oktober. Ya, harapan orang tua saya cukup besar tentang kelulusan saya yang semoga memang bisa tahun ini. Teteh saya, setelah lulus apoteker, dia sudah mulai sibuk bekerja dan menghasilkan uang sendiri tentunya. Semuanya berjalan apa-adanya dan tanpa terasa sebentar lagi tiba waktunya untuk saya mengalami hal yang sama dengan teteh. Lulus, wisuda, kerja.

Teman-teman SMA yang kemarin berkumpul sekedar untuk berbagi perkembangan cerita, kehidupan, dan nostalgia, ya, kami semua sudah besar, tumbuh menjadi manusia yang seutuhnya. Ada yang sebentar lagi mau ko-as, ada yang sama-sama mau lulus tahun ini juga, semuanya memang berbeda, berubah. Agenda reuni SD minggu depan juga membuat saya berpikir kembali ke belakang, mengenang segala yang telah saya lalui. Melihat wajah-wajah itu, yang dulu polos dan tanpa beban penuh keceriaan, hey, kita dulu pernah muda. Saya menjadi seperti sekarang ini setelah melalui semuanya bersama kalian, keluarga, teman, guru, pedagang di sekolah, tukang becak yang mengantar saya setiap pagi ke TK, supir angkot, supir bis, pengamen jalanan, bahkan copet yang menjadi “teman” setia perjalanan panjang Bandung-Padalarang (PP), semua memberikan warna dalam kehidupan saya. Setiap waktu saya belajar, setiap kehidupan mempunyai keunikan tersendiri, setiap jiwa merupakan primary key, yang tidak akan pernah sama, dan saya bahagia dengan apa yang saya miliki, lalui, hadapi, dan jalani. Saya bersyukur atas jalan hidup yang telah dipilihkan Allah untuk saya, jalan inilah yang membuat saya menjadi seperti saat ini. Saya selalu ingin bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh-Nya, karena memang itulah yang pantas saya dapatkan dan sanggup saya emban.

Terima kasih semua, atas segala kasih sayang, canda tawa, pertengkaran, senyuman, dan perasaan yang mungkin tak terungkapkan.

Malu Jadi Anak Muda

Ketika sayup-sayup suara indah berkumandang..

Seketika anak-anak kecil berlarian dengan riang menuju satu tempat..

Seketika bapak-bapak dan ibu-ibu keluar dari rumahnya menuju satu tempat itu juga..

Seketika seorang kakek yang berumur 90 tahunan berjalan ringkik dan membungkuk perlahan namun tetap penuh semangat ditemani tongkat kayunya menuju satu tempat yang sama..

Seketika itu pula..

Saya yang masih mampu berjalan tegap..

Saya yang kuat berlarian kesana-kemari..

Saya yang alhamdulillah masih dianugerahi kesehatan..

Hey, malu saya jadi anak muda..

Cih..

Mampu berlarian mengejar bola di lapangan futsal..

Sigap memperebutkan bola di lapangan basket..

Siap bermain voli berjam-jam..

Kuat melompat-lompat saat aerobik..

Hey, untuk apa semua kekuatan itu..

Jika untuk melangkahkan kaki ke tempat suci nan mulia itu saja sungguh sulit dan berat..

Hey, malu saya jadi anak muda..