Annual

Whilst November is a writing festival month in University of Sheffield, I also have one regular day as an annual writing moment: yes on my birthday. It just forces me to have a long post at least once in a year. However I didn’t have that kind of post last year which I really don’t know why. Well, probably because last year I was having a birthday in a pandemic or maybe just because I was quite busy preparing for my departure to my new home. Yes, I am here now in the UK (again), in Sheffield, my new home for almost a year. Living in a totally different world than my last couple years.

Long story short, I am currently working on my research to pursue a PhD. Hell yeah, am I crazy enough to consciously choose this path of life? Yes, I might said. I would never imagine that I am gonna be here to study again. Maybe some people said that I am so in love with study, education, or research. The answer is no. Sorry, I was not really that kind of academic person who loves science or whatever it is. I was an ordinary girl in class who never thought that she would have this kind of academic journey. It is true that she was a high achiever back then, but still she was not the top-notch student. She was probably not the one who be recognised by the lecturer. I know she was not that bad in grade, but still she spent a lot of time doing social activities, voluntary works, and many kind of sports. So probably she was not the only one who be surprised by the decision, a lot of her friends also were amazed seeing her current unpredictable journey.

Another unpredictable decision is the UK itself. As many of you probably know that I studied my master in Warwick. Based on those experience, I decided to find another country to live if I get a chance to pursue another degree. Not that I didn’t like UK, I really loved it to be honest, but still I was craving for something new, well especially in Schengen area. Yes, I was longing to travel easily to other countries over the weekend, by bus or train. Hence, I did a lot of search for any PhD vacancy in Europe. I was really digging and die trying to get one, but viola I got this offer in DoSSIER project. Wait what? It is based in the UK, the country that definitely is not on my dream list to pursue a PhD. However, this project offered me a lot of things I could not resist. Well, they provided the employment based PhD in human-computer interaction (which I am in love with!) along with three secondment in several European countries. I really did buy all of those things. Then the story began, I decided to take a leap and go to UK.

Well here I am now, blessed and happy enjoying my sweet birthday with my loved ones. One important lesson from my last year’s journey is that you are free to wish, to dream, to imagine anything that you want, but remember that Allah knows what you need better than anyone.

And Allah is The Best Planner, so do believe that the best things would come at the right time. All you need is to do your best effort, then you’ll get the reward after all.

For many years to come, many journeys to embrace, InshaAllah. Just never stop believing.

Sheffield, 19 November 2021
~G

Titik yang Tidak Saya Ketahui Sebelumnya

Lebih kurang sekitar 2 bulan yang lalu, saya termanggu. Senja sudah berganti petang, hanya sedikit mobil yang lalu-lalang. Terduduk lesu di halte bis yang biasa mengantarkan saya pergi-pulang antara rumah-kampus. Di tengah geliat sepinya Coventry, saya merasa tak memiliki lagi energi untuk sekedar menitikkan air mata. Sebuah kalimat singkat yang diucapkan pembimbing disertasi terus berputar dan berulang di kepala. Tak diucapkan dengan tajam namun isinya terasa mengiris jiwa.

11  Coventry        20 min

Tertulis manis di papan jadwal kedatangan bis. Saya berusaha menghimpun nafas yang masih tersisa. Saya memandangi jalanan dengan pikiran yang semrawut lagi kalut. Setelah hampir setahun saya memutuskan untuk hidup merantau jauh di negeri yang asing, ternyata malam itu saya sampai di titik terendah yang tak pernah saya siapkan sebelumnya. Saya terpaku di ambang batas kekuatan yang tak lama lagi runtuh. Ternyata memang jurang depresi itu nyata adanya, terutama bagi saya, mahasiswa yang acap kali terlihat bahagia di media sosial sembari berusaha tidak menampakkan segala kesulitan yang dihadapi.

Hitungan menit demi menit terasa begitu lambat berjalan. Kesendirian niscaya tak mempermudah untuk bangun dari keterpurukan. Tak lama saya tersadar, bahwa sesungguhnya saya tak pernah sepenuhnya sendiri. Saya punya Allah, teman yang setia menemani tanpa kompromi. Segala pikiran buruk yang sempat terbersit perlahan memudar, meski jantung masih terus kencang berdebar dan senyum masih tetap menolak untuk berpendar.

Sesampainya di rumah, ternyata kegelisahan yang terlalu membuat saya tak bisa menangis sejadi-jadinya. Saya bersimpuh di hadapan-Nya sembari memohon penjagaan dan kasih sayang dari-Nya. Seolah tak peduli lagi dengan target studi yang sempat terucap, saya hanya meminta diberikan kesempatan untuk bertahan dan kekuatan untuk kembali berjuang.

Dan inilah saya, beberapa minggu lalu. Agak sedikit gosong tapi bahagia saat masih diizinkan untuk menghirup udara dan menikmati mentari di Monte Carlo, Monaco.

WhenInMonaco
WhenInMonaco

Maka adalah benar, tiada kekuatan yang datang selain daripada Allah.

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu…

(QS.Al Baqarah 153)

Belajar Kecewa

Saya teringat akan satu pertanyaan yang diajukan ketika saya mengikuti wawancara seleksi beasiswa LPDP. Pertanyaan singkat dari salah seorang pewawancara yang berasal dari Psikologi Universitas Indonesia.

Coba ceritakan tentang kekecewaan yang pernah kamu alami.

Jujur saya termenung cukup lama. Dalam hati saya jumawa, ah saya kan tidak pernah kecewa, saya selalu belajar mensyukuri apa yang terjadi dan mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpa. Saya memutar otak kembali, tapi saya perlu jawaban untuk pertanyaan ini. Pikiran saya yang tadi bukanlah jawaban yang akan memuaskan beliau, saya yakin beliau akan menggali lagi terus hingga mendapatkan jawaban yang diinginkan. Kemudian saya putuskan untuk menceritakan kegagalan saya dalam seleksi beasiswa LPDP sebelumnya.

 

Iya, saya sempat gagal dalam seleksi administrasi LPDP batch 1 tahun 2015.  Kegagalan yang membuat saya tidak dapat berangkat kuliah ke Manchester di September 2015. Di tengah penjelasan panjang, saya ternyata beberapa kali menarik napas yang cukup berat. Perlahan menyelami runtuhnya rencana masa depan saya kala itu. Saya yang sudah telanjur ingin pergi dan meninggalkan rutinitas di kantor, bahkan sempat berpikir untuk mengundurkan diri lebih awal meskipun belum mengantongi beasiswa. Namun saya berusaha berpikir dengan jernih di tengah kepingan mimpi yang berserakan.

 

Singkat cerita, akhirnya saya memutuskan untuk tetap bekerja sembari berusaha menyusun rencana baru untuk masa depan. Atau mungkin sebenarnya alasan saya tetap bekerja sesederhana saya masih perlu uang untuk bertahan hidup. Bertahan hidup di ibukota, tempat dimana mimpi saya mulai dibangun. Namun sisi positifnya adalah di tahun itu akhirnya saya bisa merasakan hidup nyaman di tempat tinggal yang saya miliki dari tetes keringat saya sendiri. Iya, inilah alasan terbesar saya masih perlu uang.

 

Dari kegagalan itu, saya perlahan menyusun strategi untuk kembali melanjutkan mimpi. Tidak pernah terbersit di pikiran saya untuk mengubur mimpi-mimpi itu, saya biarkan mereka tetap hidup mengganggu kenyamanan diri. Selepas bercerita tentang kisah kekecewaan tersebut, saya pun berpikir. Ah iya, saya sebenarnya pernah kecewa namun saya ternyata bisa melewatinya dan menghapus kata kecewa itu dalam kosakata hidup saya.

 

Dan hari ini saya seperti tertampar kembali, inilah sebuah perasaan yang sempat kau lupakan geliatnya. Kecewa ternyata hadir menyapa.

Jangan berharap kepada manusia karena niscaya kamu akan kecewa.

Sejak membaca kalimat tersebut untuk pertama kalinya, saya selalu berusaha berharap hanya kepada Ia Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dalam perjalanan ini kemudian saya mengerti bahwa berharap lalu kecewa itu bagian dari fitrah. Dari sekian banyak siklus harap dan kecewa yang pernah saya lalui, saya belajar. Saya belajar untuk kecewa dan menghadapinya. Saya belajar membuka mata saya untuk mengakui bahwa saya sesungguhnya memang kecewa. Saya bukan manusia super yang sepantasnya jumawa dengan tidak pernah kecewa.

 

Menjadi kuat bukan berarti tidak boleh menangis.

Menghadapi kekecewaan bukan berarti tidak boleh bersedih.

Saya belajar menikmati setiap rasa yang tercipta.

Saya belajar menyelami setiap fase yang mendera.

 

Iya, saya belajar kecewa.

 

 

Coventry, 12 April 2017

 

 

GNiwanputri

 

 

 

 

 

 

Dengan atau Tanpa Sayap

Sebelum hari ini berakhir, saya memaksakan diri menulis kisah ini.

img-20161119-wa0046
Menggenapi Usia

Bagi saya, ulang tahun bukanlah sesuatu yang luar biasa, tapi di tanggal ini saya seringkali, meskipun tidak selalu, melakukan check point kehidupan. Terkadang isi blog saya berselang satu tahun karena kemalasan saya menulis selain di bulan November.

 

Saya terlahir sebagai Scorpio. Sedikit banyak saya meyakini kepribadian berdasarkan zodiak. Selain itu, saya juga terlahir sebagai anak bungsu selama 9 tahun, namun kemudian berubah menjadi anak tengah hingga kini. Iya, jadi saya beranjak dewasa sebagai anak tengah, hingga kemudian saya menjadi ENFJ-A dalam menggenapi usia saat ini.

 

Sambil mendengarkan streaming radio Indonesia, saya menulis ini di meja belajar kamar yang sudah saya tempati selama hampir 2 bulan ini. Where the magic happen, kamar ini menjadi saksi kerja rodi saya semalam suntuk untuk menyelesaikan tulisan 4000 kata, tugas pertama sebagai mahasiswa. Menjadi mahasiswa lagi adalah keputusan penting yang saya ambil di tahun ini. Setelah empat tahun lebih saya menjadi penyumbang kepadatan penduduk Jakarta, saya akhirnya dengan lega dapat mengirim email “today is my last day” ke teman-teman kantor.

 

Selalu lucu rasanya ketika saya mengingat kembali impian dangkal selepas kuliah sarjana dulu. Saya bermimpi, jika menikah nanti, saya ingin menemani suami kuliah ke luar negeri. Bukan, bukan saya yang kuliah, saya cukup ikut untuk menjalankan tugas seorang istri. Ternyata memang Allah selalu punya rencana yang jauh lebih baik, saya sampai saat ini tidak dipertemukan dengan suami idaman tersebut. Allah menyiapkan diri saya untuk sesuatu yang lebih besar, saya diberikan jalan untuk berangkat ke luar negeri, tetapi dalam peran sebagai mahasiswa.

 

Di sinilah saya sekarang, sebuah kota kecil yang berada di Inggris. Kota yang berjarak 14.741 km dari Ibukota Negara Indonesia. Kota yang bernama Coventry. Tidak pernah dengar kota ini sebelumnya? Wajar, saya juga baru mendengar kota ini sekitar awal Agustus lalu. November tahun lalu saya sudah membayangkan akan merayakan ulang tahun berikutnya di Inggris, tapi tentunya bukan di Coventry. Singkat cerita, saat ini saya mengambil International Technology Management di University of Warwick. Kampus saya ini berlokasi di kota Coventry yang notabene hanya berjarak 1 jam perjalanan kereta dari London dan 15 menit perjalanan dengan taksi dari Birmingham. Kisah di balik perjalanan panjang saya menuju Warwick akan saya bagikan dalam tulisan selanjutnya.

 

Dari dangkalnya impian hingga bergesernya harapan, saya belajar. Saya belajar bahwa terbang meraih mimpi dengan atau pun tanpa sayap bukan perkara penting. Bagaimana cara kita terbang dengan kondisi yang ada, itulah pembeda yang menentukan apakah kita akan sampai dengan selamat di tujuan atau tidak. Setiap perjalanan takkan pernah sama, begitu pula cara kita melaluinya.

 

Maka tentukan tujuan, kemudian terbanglah tinggi, dengan atau tanpa sayap. Nikmati setiap jeda perjalanan dan mendaratlah perlahan dengan penuh kepastian.

 

 

Coventry, 19 November 2016

 

 

Ginar Santika Niwanputri