Sebuah Catatan Harian

Satu butir paracetamol menuntun saya menulis ini. Rasanya hari ini terlalu padat untuk dituliskan dalam 140 karakter.

Bukankah segala sesuatu selalu sulit untuk dimulai, untuk kemudian lebih sulit lagi diakhiri.

image

Foto Indonesia yang terbentuk dari awan tanpa sengaja ditemukan oleh relawan fotografer yang berkunjung ke TBB. Saya menjadi saksi hidup yang bisa membuktikan bahwa foto itu bukan hasil rekayasa. Saya beruntung bisa menyaksikannya secara langsung.

Desiran yang sama selalu terasa ketika mendengar kisah pengajar muda. Saya tidak tahu sampai kapan desiran itu akan tetap ada. Ditemani degup jantung yang lebih cepat dari biasa.

Siapa yang mengira saya akan menyaksikan peta Indonesia yang sama di sebuah ruang mewah gedung bertingkat Ibukota Jakarta.
Ya, di tempat saya bekerja hampir 2 tahun terakhir ini.

Jika seseorang bertanya sebelumnya bekerja dimana. Izinkan saya menjawab
“Saya di TBB, bukan bekerja, tapi hidup. Dan saya akan kembali pulang, bukan pergi.”

Saya dan seorang teman seringkali melontarkan pertanyaan yang sama berulang-ulang
“Sampai kapan ya kita akan hidup dalam romantisme TBB?”
Kemudian kami hanya memberikan tawa sebagai jawabannya. Karena kami tahu pertanyaan itu tak pernah membutuhkan jawaban. Karena romantisme itu hidup di darah kami, di hembusan nafas kami, dan di detak jantung kami.

Mungkin inilah bagian masa lalu yang tak sedikitpun ingin terlupa, pahit manisnya, tak pernah ada rasa yang sama.

Untuk masa depan yang tak terduga, untuk sebuah cerita yang tertunda, untuk sebuah kejujuran yang terasa.

Terima kasih ya atas hari ini.
Untuk kamu, dia, dan mereka.

Ditulis di kursi ruang TV, ditemani keheningan, dan sedikit hingar bingar tak diundang.

~Inay

2 Replies to “Sebuah Catatan Harian”

Leave a Reply to Joelian Samuel (@sureucando) Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *