Butet Manurung vs. Pengajar Muda

Kita & Mereka

Malam itu saya sempatkan diri hadir di acara peluncuran buku Butet Manurung.

Wanita hebat ini kembali membuat buku baru berjudul “The Jungle School”, versi bahasa Inggris dari buku pertama beliau yang berjudul Sokola Rimba. Isi dari buku tersebut kurang lebih sama dengan buku versi bahasa Indonesia, yang menarik adalah lembaran khusus foto dicetak pada kertas hitam yang apik. Semakin mempertajam kekuatan dari foto-foto yang menggugah.

 

Dalam presentasi Butet Manurung, saya melihat kembali foto-foto Sokola yang ada di buku Sokola Rimba. Pikiran saya tiba-tiba melayang jauh ke belakang. Sudah lewat dari setahun sejak saat itu, saat saya membaca buku keren itu.

Suatu sore di sebuah kamar tanpa langit-langit, di atas sebuah tempat tidur kecil sederhana. Saya menangis. Menangis dengan sebuah raungan yang tertahan. Raungan yang sangat tidak ingin didengar oleh orang lain, terutama yang berada di rumah itu. Kamar tanpa pintu, hanya ditutupi dengan gorden sederhana, tentunya suara apa pun akan dengan mudah mengalir di ruangan yang tak hampa udara.

Bulan Desember 2010, kalau saya tidak salah ingat. Desa Balam Asri, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Di sela-sela aktivitas sekolah dan rumah, saya memaksakan diri membaca buku itu, buku yang dikirim beberapa bulan sebelumnya ke Galuh 2 No.4 oleh teman saya yang baik hati, Apri Kamayudi. Terima kasih ya Pri!

Buku itu entah kenapa seakan memanggil saya keras untuk dibaca. Saya pun menguatkan niat untuk membacanya. Lembar demi lembar saya buka, kemudian saya terhanyut, bahkan tenggelam di dalamnya. Air mata saya bahkan mungkin tak terlihat karena keluar di derasnya arus.

Apa yang membuat saya menangis? Ya, foto itu. Foto sokola yang dibuat oleh Butet Manurung.

image

Rasanya ingin berlari, bergegas pergi. Kemana? Ke sana, ke Jambi. Ke Bukit Dua Belas. Hati saya meletup, saya harusnya ada di sana, di sekolah itu. Niat saya pergi setahun untuk menemui itu, bukan, bukan sekolah saya yang ada di Lampung saat ini. Sekolah dengan bangunan kokoh dan cukup megah, dengan guru-guru yang siap mengajar di dalamnya.

Hari itu, suatu titik yang tidak pernah saya ceritakan sebelumnya. Titik terendah dimana saya merasa sangat tidak berguna, merasa kecewa dengan pilihan yang pernah saya ambil. Sebuah sudut pandang yang memaksa saya untuk berkata saya harus pergi dari sini. Bukan di sini tempat yang saya tuju. Hampir dua bulan saya bersiap untuk semua itu, itu merujuk kepada foto di buku, bukanlah itu yang sekarang berada 700 meter dari tempat saya berada.

Saya bertahan perlahan sembari bersiap untuk berpindah, entah kemana, namun saya yakin sekali bahwa saya tidak akan lama lagi di sini. Penolakan keras dari hati saya membawa saya melanglang jauh ke suatu tempat imajiner yang serupa dengan foto di buku itu. Bayangan ‘indah’ itu masih saya simpan erat sebagai pelecut semangat saya untuk tetap bertahan.

Sampai suatu ketika saya jatuh cinta. Saya jatuh cinta pada mereka, anak-anak polos dan tanpa dosa. Mereka membuka mata hati saya yang tertutup rapat karena imaji yang tercipta. Ya, mereka murid-murid saya.

Saya seperti tersentil. Saya tersadar akan semua yang terjadi. Lihatlah mereka, bukankah mereka tidak bersalah, kenapa pula harus kau benci mereka karena sekolah mereka tidak seperti yang kau kira. Saya hadir di sana untuk mereka. Saya tercipta untuk mereka. Saya dikirim untuk mereka.

Lalu apa lagi yang perlu diragukan. Patutkah kehadiran saya di sini dipertanyakan. Haruskah pilihan saya disesalkan. Tidak.

Saya sampai pada perputaran pemikiran. Semua hal yang terjadi sudah menjadi suratan cerita indah yang dirangkai olehNya.

Lalu apa perlu sebuah kecewa?

Perlu sebuah duka?

Perlu sebuah lara?

Tidak.

Karena saya memang tercipta untuk mereka.

Butet manurung tercipta untuk mereka, suku anak dalam.

Begitu pula dirimu, tercipta untuk mereka yang saat ini ada dalam asuhanmu.

Ilmu kita untuk mereka.

Seperti jodoh, setiap manusia tercipta untuk berbagi dengan mereka yang lain.

Jika belum, maka temukanlah.

Karena dari setiap kita, ada mereka yang membutuhkan kita.

Jakarta, 18/03/2012; 22:56

Ginar

One Reply to “Butet Manurung vs. Pengajar Muda”

  1. once again, iam speechless, someday, saya ingin sekali seperti butet manurung , seperti anda, juga seperti orang orang yg mengabdikan separuh hidupnya untuk berbagi dengan sesama,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *