BENAR VS. BIASA

 

 

Hampir setiap hari saya melewati perempatan Tol Pasteur dan Surya Sumantri (daerah Maranatha). Jalur tersebut merupakan rute perjalanan terdekat (shortest path) dari rumah saya menuju kampus ITB. Saya mengunakan sepeda motor sebagai alat transportasi dan saya seringkali harus berhenti di lampu merah perempatan tersebut karena jumlah kendaraan yang berasal dari arah Husein menuju Pasteur cukup banyak, terutama di pagi hari. Jalur Husein – Pasteur mendapat giliran lampu hijau setelah jalur Surya Sumantri – Tol Pasteur dan Surya Sumantri – Husein. Jumlah kendaraan dari arah Surya Sumantri yang belok ke kanan, yaitu ke arah Tol Pasteur, lebih banyak daripada jumlah kendaraan yang menuju Husein. Jika tidak ada kendaraan dari arah Surya Sumantri yang menuju Husein maka kendaraan-kendaraaan yang berasal dari arah Husein (jalur yang saya lewati) dapat dengan leluasa melaju menuju Pasteur. Banyak sepeda motor dan kendaraan roda empat yang seringkali nyelonong begitu saja meskipun lampu merah masih menyala. Selama 7 bulan saya mengendarai sepeda motor, saya selalu berusaha menaati peraturan yang berlaku, salah satunya adalah tidak menerobos lampu merah. Saya selalu setia menahan laju sepeda motor saya sampai lampu merah di perempatan itu padam dan berubah menjadi kuning atau hijau.

 

Suatu hari di awal minggu ini, seperti biasa saya melalui jalur yang sama yang selalu saya lalui tiap hari, yaitu perempatan Tol Pasteur – Surya Sumantri. Kejadian yang sama terulang lagi, lampu merah masih menyala, namun tidak ada kendaraan dari arah Surya Sumantri menuju Husein. Sepeda motor saya berada di barisan depan antrian kendaraan tersebut, namun saya tetap di tempat saya menanti hingga lampu merah itu padam. Suara klakson pun berbunyi bersahutan memberi tanda untuk memaksa saya melaju, itu hal yang biasa bagi saya dan saya pun tetap diam tak bergeming. Lalu beberapa sepeda motor yang berada di belakang saya menyalip saya dengan kencangnya dan bagian yang paling penting adalah orang-orang yang ada di atas sepeda motor tersebut memandang saya dengan tatapan benci atau mungkin jijik. Sebuah tatapan yang secara implisit berkata bahwa saya salah karena menaati peraturan lalu lintas dan mereka yang menerobos lampu merah adalah benar. Di sinilah saya sampai pada sebuah titik dimana saya sadar bahwa seterpuruk inikah Indonesia.

 

 

Ketika sesuatu yang biasa menjadi benar, kemanakah perginya kebenaran itu ?

 

7 Replies to “BENAR VS. BIASA”

  1. Gini nay…..
    itu kebenaran yang sifatnya mikro… kebenaran yang elo maksud itu sifatnya lebih makro….
    jadi kalo gak ada penegak kebenaran makro tersebut… yang berkuasa adalah kebenaran yang sifatnya mikro….
    syukur-syukur kalo yang mikro dan yang makro itu sama…. kalo beda… ya macam kasus elo itu….

  2. @inay :
    nah,,, sebenarnya kebenaran itu khan sesuatu hal yang kolektif….
    tergantung orang-orang yang menyepakatinya….
    apa yang dianggap benar oleh beberapa komunitas gak dibenarkan oleh komunitas lain….
    benar itu khan kolektif toh…..

  3. @ montercplus :
    gapapa lagi sok tahu..daripada ga tau apa2.. kita bs belajar dari ke-sotoy-an kita..

    [kira2 komen yang ini termasuk yang “sok untuk sok tahu” ato “cm nyampah”?? hehehe]

Leave a Reply to cinotbelenot Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *