Rasa Tanpa Definisi

Jatuh cinta itu biasa saja.
Iya, kata Efek Rumah Kaca.

Mungkin cukuplah kau sebut itu sebuah rasa yang belum terdefinisi. Tak usahlah terburu-buru menyatakan bahwa itu cinta.
Perlahan rasa akan menemukan definisinya sendiri. Dia akan menguat jika memang ia cikal bakal dari cinta. Jika tidak, ah sudahlah, mungkin itu tak lebih dari hasrat sesaat.

Hatiku masih perlu belajar untuk mengenali rasa yang singgah, sekejap atau pun lama. Langkah demi langkah menentukan ia akan kemana dan menjadi apa. Biarlah ia menjelma sebagai apa yang seharusnya, tanpa perlu ada paksa atau dusta.

Rasa yang abadi akan menemukan jalannya sendiri. Termasuk juga rasa yang sudah pergi, apakah dia akan menemukan jalan untuk kembali? Kita takkan pernah tahu apa yang akan terjadi.

Satu yang pasti kita perlu menikmati setiap momen yang terjadi, dalam senyuman dan kebahagiaan yang hakiki.

Sajak Dua Tepian

image

Aku berdiri di antara batas dua tepian.
Masa lalu dan masa depan.

Aku termenung di antara batas dua tepian.
Harapan dan kenyataan.

Aku menghela di antara batas dua tepian.
Impian dan kenangan.

Aku menerawang di antara batas dua tepian.
Ketenangan dan kegundahan.

Aku terusik di antara batas dua tepian.
Pertanyaan dan jawaban.

Aku terpaku di antara batas dua tepian.
Keikhlasan dan kedengkian.

Aku mematung di antara batas dua tepian.
Keraguan dan keniscayaan.

Aku tersenyum di antara batas dua tepian.
Doa dan ampunan.

Sang Pemilik Hati

Mata saya terpejam, tapi kepala saya berputar. Tubuh saya terdiam, tapi hati saya bergetar.
Malam ini seharusnya tak ada beda, namun kecambuk di otak tak bisa kompromi, menggugah kesadaran jiwa yang tak berseri.

Hati saya sudah disiapkan untuk menyambut hari biasa tapi berasa ini. Tentunya oleh Sang Pemilik, hati ini dilatih bergoncang dan berbalik ke segala arah.

Dan inilah saat latihan itu usai, ujian baru saja dimulai. Degup tak menentu mengiringi hati yang tanpa beban menggelinding jauh. Ah lihatlah bagaimana Sang Pemilik hati berhasil membuatnya kuat berlapis baja, sarat berbalut emas, bahkan padat bertahtakan mutiara.

Hati, engkau kini berhasil perlahan menggelinding tanpa cidera. Lihatlah bagaimana dirimu mampu menahan curahan di pelupuk kedua mata.

Oh, tetaplah berlatih tanpa berhenti wahai sang hati. Aku yakin Sang Pemilik takkan bosan menjaga teguhnya sampai waktu yang tak bertepi.

Catatan Lampu Merah

Saya ingat ini kedua kalinya saya melihat sang Ibu, pembawa gerobak dengan seorang bayi mungil dalam gendongannya. Masih di sekitar lokasi yang sama, kala itu saya berniat memberikan lembaran rupiah yang mungkin tidak seberapa. Saya berusaha merogoh uang di dalam tas untuk kemudian membuka jendela mobil. Sang Ibu ternyata berjalan begitu cepat seolah tanpa membawa beban yang berarti, padahal gerobaknya penuh dengan barang yang jika dijual pun mungkin belum tentu cukup untuk membeli sekaleng susu bagi sang bayi. Mobil saya kemudian melaju dengan arah yang berbeda dengan sang Ibu, saya hanya bisa memandanginya melalui sudut mata sembari mengucapkan doa. Ah, memang sebatas itu yang dapat saya lakukan, selemah-lemahnya iman.

Kali ini saya berusaha kembali merogoh tas, namun kecepatan para pengemudi motor itu mengalahkan kecepatan tangan saya. Roda-roda motor menggeliat di sekeliling gerobak sang Ibu. Sang Ibu terlihat tak nyaman namun tetap berusaha tenang memegang gerobaknya, sebuah keberanian yang harus beliau genapi di setiap harinya. Saya termenung dan kembali hanya bisa berdoa dari balik kaca jendela. Sedih dan lemah, saya kembali tak mampu memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar doa.

Selang beberapa detik saja, saya melihat ada gerakan berbeda dari pengendara motor yang berhenti tepat di samping sang Ibu. Saya berpikir, oh mungkin beliau mencari ponselnya di dalam jaket. Seketika itu pula beliau mencolek pundak sang Ibu dan memberikan lembaran rupiah yang beliau rogoh dari saku jaketnya. Sang Ibu tersenyum sembari mengucapkan terima kasih.

Saya diam bergeming, hanya mampu merinding menyaksikan kejadian di lampu merah yang kurang dari 30 detik itu. Lihatlah bagaimana Allah memudahkan apa yang ingin kau lakukan, diwakilkan oleh orang lain yang Ia kehendaki. Yakinlah bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dan setiap doa hamba-Nya akan selalu didengar oleh-Nya, diijabah dalam waktu singkat atau lambat, dalam bentuk yang seutuhnya atau yang semestinya.

Saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menggendong tas yang beratnya bahkan tak lebih dari berat bayi mungil itu.

Masihkah ada yang harus kau keluhkan?
Masihkah ada hal yang kau lupa untuk syukuri?
Masihkah teringat segala nikmat yang Allah berikan sejak kau lahir ke dunia hingga saat ini masih dapat menghirup nafas yang sama?

Sebuah catatan yang ditulis dalam tangisan pilu penuh rasa malu.

Jakarta, 19 Maret 2015

~Inay – at Traffic Light Mampang – Kuningan

View on Path

Sebuah Kisah

“Saya lulus kuliah 2013, tapi lulus SMA 2004. Saya sempet jualan dulu, trus jadi cleaning service, baru deh bisa jadi OB. Habis uang tabungan cukup, baru saya bisa kuliah. Baru deh saya sekarang bisa kerja di sini.”

Beliau bercerita ringan tanpa beban dengan penuh senyuman, sedangkan saya berusaha keras menerjemahkan untaian kata-kata ke dalam bayangan semu di kepala.

Kisah seorang rekan kerja siang ini membuat saya termenung lama mengingat beberapa masa yang lalu saat berseragam putih abu-abu. Kuliah adalah satu-satunya opsi yang tersedia di hadapan, tanpa perlu memeras keringat atau bahkan turut serta memutar otak bagaimana cara membiayainya.

“Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang engkau dustakan?” – Read on Path.

Mimpi: Hak atau Kewajiban

Kemarin malam, di depan TV yang menyala, saya berbincang bersama seorang sahabat. Saya tertarik membahas sebuah temuan di kantor anak perusahaan yang saya kunjungi hari itu. Bekerja di holding company memaksa saya memiliki banyak kantor yang harus didatangi.

Siang itu tanpa sengaja saya menjatuhkan pajangan dari meja seorang rekan kerja. Untungnya pajangan itu masih tetap utuh. Sebuah replika Menara Eiffel setinggi kira-kira 15 cm. Saya kembalikan Eiffel pada posisinya semula. Tatapan mata saya jatuh pada secarik kertas bertuliskan IMPIAN, tertempel di dekat Eiffel. “Impian gw tuh!”, ujar sang pemilik kubikel. Saya hanya bisa berkata Wow untuk kemudian tersenyum. Saya mendengar nada yang sungguh berbeda saat dia menyebutkan kata impian. Jauh lebih berapi-api daripada saat kami membahas report yang menjadi agenda kedatangan saya kali itu.

Di waktu yang lain, tangan saya berhenti sesaat dari mengusap naik turun ponsel pintar dalam genggaman. Sebuah foto apik menarik perhatian saya, Big Ben terpasang sebagai desktop background laptop seorang teman yang linimasanya saya ikuti. Disertai kalimat motivasi yang membangkitkan nyali, foto sederhana itu sungguh menggugah hati.

Di linimasa jejaring sosial yang lain, lagi-lagi jari-jemari saya terhenti. Sebuah celotehan rencana masa depan disertai iringan doa dan harapan yang terangkai dengan rapi. Tertulis di sana tanpa perlu ada sebuah beban atau sebercik ketakutan.

Marilah kita sebut ketiganya terkait erat dengan mimpi. Saya bertanya pada diri sendiri, apakah mimpi itu sebuah hak atau sebuah kewajiban. Saya ternyata tak pernah ingin memilih salah satu di antara dua. Tidak ada yang pernah melarang seseorang untuk bermimpi.

Saya sampai di satu titik, titik persinggahan yang membuka mata. Manusia yang bernyawa masih akan terus bermimpi sampai ia menutup usia. Setiap orang berhak bermimpi dan setiap yang lain wajib menghargainya.

Ya Tuhan, izinkan saya bermimpi.

image

Takut dan Lupa : Sebuah Kausal

Saya menulis ini di dalam sebuah taksi burung biru. Perjalanan dari satu gedung ke gedung lain yang semakin biasa saya jalani dari hari ke hari. Bapak driver bilang belum ada informasi kenaikan tarif, sejauh ini biaya BBM masih disubsidi oleh perusahaan. Kalau tidak disubsidi, mungkin uang hanya habis untuk beli bensin, pulang ke rumah dengan tangan kosong. Manusia memang tak lepas dari rasa takut. Takut jika BBM naik kemudian penghasilan yang didapat tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun manusia juga tak lepas dari sifat lupa. Iya, manusia lupa bahwa rezeki ditentukan oleh Allah, bukan oleh pemerintah yang menaikkan harga BBM.

Visa ke Surga
Visa ke Surga

Di pinggir jalan saya tertarik melihat baligo besar bergambar tangan memegang sebuah benda bertuliskan VISA. Judulnya Visa ke Surga. Menarik melihat bagaimana sebuah izin mendatangi surga masih perlu dibuatkan iklannya, sedangkan izin kunjungan ke negara lain begitu laris manis tanpa perlu polesan advertorial yang berarti. Jikalau benar ada visa ke surga, sesungguhnya proses pengajuan visa dilakukan sepanjang usia kita di dunia. Pada akhirnya proses pengajuan, tentunya hanya Allah, yang berhak memberikan approval visa tersebut. Saya tersenyum sendiri membayangkan analogi yang terbangun di tengah kemacetan Ibukota ini.

Ya ini lagi-lagi tentang 2 hal yang sangat lekat dengan manusia, takut dan lupa. Lupa dan takut ini sebenarnya 2 hal yang saling terkait dengan hubungan kausal sebab akibat. Manusia takut karena ia lupa, vice versa. Manusia sering lupa apa tujuannya ia diciptakan. Lupa bagaimana ia kemudian dihidupkan. Dan lupa detak jantungnya suatu waktu akan dihentikan.

Ah, sesungguhnya tulisan ini niscaya menjadi sebuah refleksi tahunan di hari ke 19 bulan ke 11. Usia yang tak lagi muda mulai saya jejaki, 27 tahun. Jadi apakah kematangan usia bisa menentukan kekuatan manusia dalam melawan takut dan lupa?

Curhat buat Sahabat

Sahabatku, usai tawa ini
Izinkan aku bercerita

Telah jauh, kumendaki
Sesak udara di atas puncak khayalan
Jangan sampai kau di sana

Telah jauh, kuterjatuh
Pedihnya luka di dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah, aku di sini ….

Yang cuma ingin diam, duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring… sakit
Yang sudi dekat, mendekap tanganku
Mencari teduhnya dalam mataku
Dan berbisik : “Pandang aku, kau tak sendiri, oh, dewiku….”
Dan demi Tuhan, hanya itulah yang
Itu saja kuinginkan

Tidak lama, kumenanti
Satu malam sunyi untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini, aku kan berjanji ….

Untuk diam, duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring… sakit
Menentang malam, tanpa bimbang lagi
Demi satu dewi yang lelah bermimpi
Dan berbisik: “Selamat tidur, tak perlu bermimpi bersamaku….”

Wahai, Tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi

Oleh Dee dalam Rectoverso

Menunggu Angka

Bukankah menjadi dewasa tak perlu menunggu angka
Tak ayalnya menjadi tua
Kenikmatan tak terhingga untuk dapat melewatinya

Tak ada yang berbeda
Berganti hari berarti bertambah usia
Meski kadang tak seiring dengan kematangan yang ada

Sepenggal puisi menjadi pilihan utama
Teman bercerita yang tak pernah berdusta
Juga tanpa peduli seiya sekata ataupun tidak

Sungguh hanya 24 jam yang sama
Tak ada pesta ataupun euforia
Tanpa nyanyian tanpa lilin tanpa tiupan

Sebuah pengulangan yang nyata
Pengingat bahwa waktu sudah terpakai cukup lama
Sementara hanya ada sisa detik yang berharga

Berlomba mengejar gelar dunia
Tak habis berkejaran memuaskan dahaga
Terlena nafsu yang bergerak tanpa duga

Memang manusia berlalu dengan sementara
Syukur tak berbatas atas perpanjangan masa
Izinkan yang tersisa menjadi bekal yang penuh asa

Jakarta, 19 November 2013

~Inay

Hanya Jarak

Jarak, bukankah hanya rangkaian jejak yang perlu digenapi setiap jengkalnya

Jarak, bukankah hanya irama tarikan napas yang saling mengisi dengan hembusannya

Jarak, bukankah hanya adu pandang dua indra dengan setitik bayang di tujuannya

Jarak, bukankah hanya sebentuk ruang dan waktu dengan tempo tanpa jeda bersamanya

Jarak, bukankah hanya sebuah besaran yang sebanding dengan kecepatan dan detik yang dilaluinya

Hanya jarak, apakah bisa memisahkan atom yang berada dalam satu frekuensi yang sama?

Suatu pagi, sendiri dalam keramaian Jakarta

Inay